Minggu, 18 April 2010

Perang Lawan Koruptor Baru Sebatas Wacana

Senin, 19 April 2010

UCAPAN dan perbuatan yang tidak sejalan merupakan salah satu penyebab tindak korupsi tidak kunjung bisa diberangus di Indonesia. Koruptor tak kunjung habis. Ibaratnya, ditangkap satu tumbuh seribu. Itu fakta, nyatanya hampir di seluruh negeri ada saja kasus korupsi yang ditangani penegak hukum. Bahkan tak jarang terjadi "pagar makan tanaman" alias penegak hukum ikut berkolusi dengan koruptor, entah itu oknum polisi, jaksa, atau hakim.

Kasus penyelewengan dana pajak yang menempatkan pegawai Ditjen Pajak, Gayus HP Tambunan, sebagai aktor utama merupakan bukti bagaimana ucapan para pemimpin di negeri ini tidak sejalan. Tekad presiden, legislatif, dan penegak hukum yang dari jauh-jauh hari menyatakan mengibarkan bendera perang terhadap markus, koruptor, dan lainnya, belum menampakkan hasil nyata. Pakar hukum, tokoh masyarakat, dan tokoh agama juga baru bisa sebatas geram.

Gebrakan petinggi penegak hukum-Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung-baru sebatas janji. Per-nyataan akan menindak siapa saja yang terlibat, termasuk oknum aparat masing-masing, masih jauh dari harapan. Meski dorongan agar para koruptor diancam dan dijatuhi hukuman mati, dan usut harta kekayaan para pejabat dan masyarakat yang mencurigakan dengan pembuktian terbalik terus bergelora, tapi semua itu tidak pernah terjadi dalam tindakan nyata.

Janji dan ucapan heboh dari berbagai kalangan-baik menyangkut hukuman mati maupun pelaksanaan pembuktian terbalik-hanya menjadi penghias cakrawala. Karena itu, sangat beralasan apabila Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menjadi geregetan, berulang kali mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar dilaksanakan. Ketua MK tersebut dalam berbagai kesempatan juga kerap mengeluarkan ungkapan bernada mendesak agar Undang-Undang (UU) Pembuktian Terbalik segera disahkan, dengan alasan UU tersebut sudah lama ditunggu publik.
Namun anehnya, ucapan menggebu-gebu dari berbagai kalangan-termasuk desakan Ketua MK agar para koruptor dijatuhi hukuman mati, serta segera disahkan/laksanakan UU Pembuktian Terbalik-seperti tak ada yang merasa bertanggung jawab. Semua bagai lepas tangan, merasa bukan urusan mereka. Jaksa dan hakim tak tergerak menuntut/menjatuhkan hukuman mati pada koruptor. Sedangkan terkait pembuktian terbalik, UU-nya sendiri tak kunjung disahkan.

Bahkan menurut Ketua MK Mahfud MD, tidak kunjung diundangkannya asas pembuktian terbalik ternyata akibat persoalan sepele, yaitu karena sebagian besar legislator di DPR kurang paham masalah itu. Entah serius atau itu cara Mahfud menyindir para anggota Dewan terhormat, bisa jadi pula para anggota DPR memang tidak berminat membahas apalagi mengesahkan UU yang diajukan pemerintah pada era Presiden Gus Dur, khawatir UU Pembuktian Terbalik menjadi senjata makan tuan, alias para anggota Dewan sendiri akan menjadi bagian dari pesakitan.


Kita juga pantas bertanya-tanya mengapa pemerintah tidak mendorong atau mendesak DPR segera menuntaskan UU Pembuktian Terbalik. Jangan-jangan banyak di antara pemimpin di negeri ini yang justru khawatir tak mampu menjelaskan dari mana uang dan harta benda yang mereka miliki. Kalau dugaan itu benar, kita mafhum gerakan perang melawan koruptor yang dikibarkan pemerintah, legislatif, dan yudikatif, tak akan pernah jadi kenyataan karena hanya wacana.

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=251152

0 komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com.Muchlis