Minggu, 18 April 2010

Seriuskah Pemerintah Memberantas Korupsi? ..... Tanya Muchlis ... ??? just Kid:D ...

Jumat, 16 April 2010

PENGGELAPAN dana pajak bukan hal baru di Indonesia. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa permainan kotor oknum pegawai pajak merupakan penyakit lama. Tidak hanya perusahaan-perusahaan besar yang jadi sasaran, tetapi pedagang kelas bawah di berbagai kota sudah akrab dengan ulah petugas pajak nakal yang selalu datang menarik "upeti", dengan ancaman para pedagang dapat dikenai tarif pajak "resmi", jauh lebih tinggi.

Sudah menjadi rahasia umum pula, diterima bekerja sebagai pengawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Kementerian Keuangan (dulu Departemen Keuangan)-khususnya di Ditjen Pajak atau di Bea dan Cukai-merupakan jaminan kemakmuran. Pendapat itu tak lagi sekadar "bisik-bisik tetangga", tetapi sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas.
Meski begitu, terbongkarnya sepak terjang Gayus Tambunan, seorang petugas Ditjen Pajak golongan III A yang bertugas di bidang keberatan dan banding, tetap saja membuat khalayak kaget luar biasa. Bayangkan, seorang pegawai yang baru sekitar 10 tahun diangkat sebagai PNS sudah memiliki kekayaan puluhan miliar rupiah, plus rumah dan apartemen mewah. Begitu juga dengan pegawai Bea dan Cukai. Dari inspeksi mendadak yang pernah dilakukan, dalam satu hari saja ratusan juta uang sogok beredar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Penyelewengan, penguasaan uang negara secara sepihak ternyata merupakan hal biasa. Bayangkan, meski Menteri Keuangan sudah menerapkan pemberian remunerasi-pemberian hadiah khusus kepada seluruh PNS di lingkungan Kementerian Keuangan agar PNS di bidang itu tak lagi jadi "maling"-nyatanya "bau busuk" masih saja mencuat. Gilanya lagi, pegawai sekelas Gayus tidak hanya bebas menumpuk harta "haram", tetapi juga mampu menyeret aparat penegak hukum.

Seriuskah pemerintah memberantas korupsi? Sepertinya upaya pemerintah membina PNS agar menjadi pegawai yang jujur dengan berbagai cara, mulai dari shock therapy melalui inspeksi mendadak, atau dengan jalan menaikkan gaji, pemberian bonus lewat program remunerasi, ternyata tak bermanfaat. Yang terkejut justru masyarakat, karena meski pemerintah sudah gembar-gembor melakukan reformasi birokrasi, nyatanya "kebocoran" keuangan negara masih terjadi dari hulu hingga hilir.

Di Ditjen Pajak masih banyak pegawai berkelakuan sekelas Gayus. Itu diakui mantan Direktur Keberatan dan Banding Bambang Heru Ismiarso. Atasan Gayus Tambunan itu, yang kini diperbantukan sebagai pelaksana Sekretariat Ditjen Pajak, membeberkannya kepada Panitia Kerja (Panja) Perpajakan DPR-RI, di Jakarta, kemarin. Apa jadinya negeri ini jika perusak citra negara dibiarkan terus beraksi. Apalagi tempat-tempat "basah" ada di mana-mana, terutama di tempat-tempat pelayanan umum, mulai dari tingkat kelurahan hingga berbagai kantor penting di pemerintahan.


Presiden dan para menterinya seharusnya sudah saatnya melakukan gebrakan, membersihkan Nusantara dari tangan-tangan kotor, termasuk di lingkungan aparat penegak hukum-polisi, jaksa, para hakim. Percayalah, terbongkarnya kebobrokan para petugas pajak, polisi, jaksa, dan hakim kotor terkait kasus pajak, membuktikan di lingkungan PNS masih berlaku adanya tempat "basah" dan tempat "kering". Herannya lagi, petinggi pemerintah terkesan setengah hati memberantasnya, nyatanya pengorbanan mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji dalam mengungkap makelar kasus pajak tak mendapat respons sebagaimana mestinya.

Ada cara jitu yang diakui banyak pihak pantas diterapkan dalam memberantas koruptor, yakni program pembuktian terbalik untuk mengusut "halal atau haramnya" harta para pegawai di Indonesia. Cara itu sudah dibuktikan ampuh oleh beberapa negara besar dalam memberangus koruptor. Entahlah jika para petinggi atau penentu kebijakan negeri ini juga tak bisa mempertanggungjawabkan asal muasal harta kekayaan mereka? Jika begitu, dapat dipastikan pelaksanaan pembuktian terbalik tak akan pernah menjadi kenyataan

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=251013

Penasaran,Lanjut disini:)......

Perang Lawan Koruptor Baru Sebatas Wacana

Senin, 19 April 2010

UCAPAN dan perbuatan yang tidak sejalan merupakan salah satu penyebab tindak korupsi tidak kunjung bisa diberangus di Indonesia. Koruptor tak kunjung habis. Ibaratnya, ditangkap satu tumbuh seribu. Itu fakta, nyatanya hampir di seluruh negeri ada saja kasus korupsi yang ditangani penegak hukum. Bahkan tak jarang terjadi "pagar makan tanaman" alias penegak hukum ikut berkolusi dengan koruptor, entah itu oknum polisi, jaksa, atau hakim.

Kasus penyelewengan dana pajak yang menempatkan pegawai Ditjen Pajak, Gayus HP Tambunan, sebagai aktor utama merupakan bukti bagaimana ucapan para pemimpin di negeri ini tidak sejalan. Tekad presiden, legislatif, dan penegak hukum yang dari jauh-jauh hari menyatakan mengibarkan bendera perang terhadap markus, koruptor, dan lainnya, belum menampakkan hasil nyata. Pakar hukum, tokoh masyarakat, dan tokoh agama juga baru bisa sebatas geram.

Gebrakan petinggi penegak hukum-Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung-baru sebatas janji. Per-nyataan akan menindak siapa saja yang terlibat, termasuk oknum aparat masing-masing, masih jauh dari harapan. Meski dorongan agar para koruptor diancam dan dijatuhi hukuman mati, dan usut harta kekayaan para pejabat dan masyarakat yang mencurigakan dengan pembuktian terbalik terus bergelora, tapi semua itu tidak pernah terjadi dalam tindakan nyata.

Janji dan ucapan heboh dari berbagai kalangan-baik menyangkut hukuman mati maupun pelaksanaan pembuktian terbalik-hanya menjadi penghias cakrawala. Karena itu, sangat beralasan apabila Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menjadi geregetan, berulang kali mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar dilaksanakan. Ketua MK tersebut dalam berbagai kesempatan juga kerap mengeluarkan ungkapan bernada mendesak agar Undang-Undang (UU) Pembuktian Terbalik segera disahkan, dengan alasan UU tersebut sudah lama ditunggu publik.
Namun anehnya, ucapan menggebu-gebu dari berbagai kalangan-termasuk desakan Ketua MK agar para koruptor dijatuhi hukuman mati, serta segera disahkan/laksanakan UU Pembuktian Terbalik-seperti tak ada yang merasa bertanggung jawab. Semua bagai lepas tangan, merasa bukan urusan mereka. Jaksa dan hakim tak tergerak menuntut/menjatuhkan hukuman mati pada koruptor. Sedangkan terkait pembuktian terbalik, UU-nya sendiri tak kunjung disahkan.

Bahkan menurut Ketua MK Mahfud MD, tidak kunjung diundangkannya asas pembuktian terbalik ternyata akibat persoalan sepele, yaitu karena sebagian besar legislator di DPR kurang paham masalah itu. Entah serius atau itu cara Mahfud menyindir para anggota Dewan terhormat, bisa jadi pula para anggota DPR memang tidak berminat membahas apalagi mengesahkan UU yang diajukan pemerintah pada era Presiden Gus Dur, khawatir UU Pembuktian Terbalik menjadi senjata makan tuan, alias para anggota Dewan sendiri akan menjadi bagian dari pesakitan.


Kita juga pantas bertanya-tanya mengapa pemerintah tidak mendorong atau mendesak DPR segera menuntaskan UU Pembuktian Terbalik. Jangan-jangan banyak di antara pemimpin di negeri ini yang justru khawatir tak mampu menjelaskan dari mana uang dan harta benda yang mereka miliki. Kalau dugaan itu benar, kita mafhum gerakan perang melawan koruptor yang dikibarkan pemerintah, legislatif, dan yudikatif, tak akan pernah jadi kenyataan karena hanya wacana.

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=251152

Penasaran,Lanjut disini:)......

Percepat Hukuman Mati Koruptor

Senin, 19-04-2010

SURABAYA,UPEKS-Ketua Mahkamah Konstitusi MK) Mahfud MD terus mendorong pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor. Menurut dia, landasan hukum untuk mengakhiri hidup para para penilap uang negara tersebut sangat kuat.
"Pemberlakuan hukuman mati ini sudah saatnya. Bahkan sudah bisa dibilang lewat momentumnya," kata Mahfud di sela silaturahmi dengan alumni UII di Hotel Elmi, kemarin. Dia menjelaskan seharusnya momentum hukuman mati itu diberlakukan bersama-sama dengan berlakunya UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sejak 2001 lalu.
Meski demikian, kata dia, penegak hukum bisa merintis lagi untuk mendongkrak gairah pemberantasan korupsi. "Saya kira diawali dulu untuk lima kasus besar. Terdakwa yang terbukti di pengadilan dihukum mati," katanya.
Menurut dia, praktik pemberlakuan hukuman mati mujarab di Tiongkok. Sebelum pidana mati diberlakukan indeks persepsi korupsi (IPK) Tiongkok di peringkat 120. Begitu berani menghukum mati koruptor IPK Tiongkok menunjukkan perbaikan tajam, hingga bisa mencapai peringkat 79.
Dia menjelaskan landasan hukuman mati di undang-undang sangat kuat. UU Pemberantasan Korupsi mengatur pidana mati tersebut. Dalam aturan, hukuman mati diberlakukan bagi korupsi yang sifatnya luar biasa dan sifatnya mengganggu kepentingan nasional. Keluarbiasaan sifat korupsi itu, kata dia, misalnya dilihat dari kasus yang melibatkan penegak hukum. ?Penegak hukum, hakim atau jaksa yang seharusnya memberantas kejahatan justru korupsi sendiri,? terang pejabat kelahiran Madura itu.
Landasan legal lainnya juga cukup kuat. Soal hukuman mati itu, pengadil di MK juga memberikan lampu hijau untuk empat kejahatan, yakni terorisme, pembunuhan berencana, narkoba dan korupsi. "MK sudah memutuskan bahwa hukuman mati bisa diterapkan," katanya.
Mahfud meyakinkan bahwa negara tak perlu khawatir dituding melanggar HAM saat menerapkan hukuman mati itu. Konstitusi, kata dia, memang menjamin hak asasi tersebut. Namun bukan berarti tak bisa dikurangi. "HAM tetap bisa dibatasi," jelasnya. Bahkan negara-negara yang bersuara keras soal hukuman mati, sampai saat ini masih menerapkannya. Contoh paling kongkret, Amerika Serikat.
Desakan Mahfud soal hukuman mati tersebut pernah diungkapkan sebelumnya. Mahfud meminta agar penegak hukum berani menghukum mati koruptor. Langkah ini untuk mencegah kasus mafia pajak seperti Gayus H Tambunan. Agar pemberantasan korupsi lebih efektif, Mahfud juga meminta prinsip pembuktian terbalik.

Info : http://www.ujungpandangekspres.com/index.php?option=read&newsid=45360

Penasaran,Lanjut disini:)......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com.Muchlis